20 Mei 2012

Qashash Al-Qur'an

                                                                              BAB I
                                                                    PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG MASALAH
     Allah SWT. Menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW. Yang mengandung tuntunan-tuntunan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta kebahagiaan lahir dan bathin. Selain menggunakan cara yang langsung, yaitu berbentuk perintah dan larangan, adakalanya tuntunan tersebut disampaikan melalui kisah-kisah, dengan tujuan untuk menjelaskan bantahan terhadap kepercayaan-kepercayaan yang salah dan bantahan terhadap setiap bujukan untuk berbuat ingkar serta menerangkan prinsip-prinsip Islamiyyah dan berdakwah.

2.      RUMUSAN MASALAH
-          Apa pengertian Qashash dalam Al-Qur’an?
-          Apa macam-macam Qashash dalam Al-Qur’an?
-          Apa faedah Qashash dalam Al-Qur’an?
-          Apa pengertian ibrah penggunaan nama dan gelar tokoh dalam Al-Qur’an?
-          Kenapa pengulangan Qashash Al-Qur’an dan apa hikmahnya?

3.      TUJUAN PENULISAN
-          Untuk mengetahui pengertian Qashash dalam Al-Qur’an
-          Untuk mengetahui apa-apa saja macam-macam Qashash dalam Al-Qur’an
-          Untuk mengetahui faedah yang ada dalam Al-Qur’an
-          Untuk mengetahui pengertian ibrah penggunaan nama dan gelar tokoh dalam Al-Qur’an
-          Untuk mengetahui masalah pengulangan Qashash Al-Qur’an dan apa saja hikmahnya.

                                                                              BAB II
                                                                      PEMBAHASAN
1.      PENGERTIAN QASHASH DALAM AL-QUR’AN
      Menurut bahasa kata Qashash jamak dari Qishah, artinya kisah, cerita, berita atau keadaan. Sedangkan menurut istilah Qashashul Qur’an ialah kisah-kish dalam Al-Qur’an tentang para Nabi dan Rasul mereka, serta peristiwa-peristiwa  yang terjadi pada masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
      Kata Qashash juga berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata Qishash yang berarti tatabbu al-atsar (napak tilas/mengulang kembali masa lalu). Arti ini diperoleh dari uraian Al-Qur’an pada surat Al-Kahfi ayat 64.
      Secara Etimologi al-qashash juga berarti urusan (al-amr), berita (khabar), dan keadaan (hal). Dalam bahasa Indonesia, kata itu di terjemahkan dengan kisah yang berarti kejadian (riwayat, dan sebagainya).
      Adapun yang dimaksud dengan qashash Al-Qur’an adalah:

          pemberitaan mengenai keberadaa umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu, dan peristiwa yang pernah terjadi”.

      Kisah-kisah Al-Qur’an pada umumnya mengandung unsure pelaku (as-sakhsiyayat), peristiwa (ahdats), dan dialog (al-hiwar). Ketiga nusur ini terdapat pada hampir seluruh kisah Al-Qur’an seperti lazimnya kisah-kisah biasa. Hanya saja peran ketiga unsure itu tidaklah sama, sebab boleh jadi salah satunya hilang. Satu-satunya pengecualian  ialah kisah Nabi Yusuf, yang mengandung ketiga unsur itu da terbagi menurut teknik kisah biasa. Cara semacam ini tidak ditemui pada kisah lain. Hal ini karena kisah Al-Qur’an pada umumnya bersifat pendek (uqshush).

2.      MACAM-MACAM QASHASH DALAM AL-QUR’AN
      Manna’ Al-Qaththan, membagi qashash (kisah-kisah) Al-Qur’an dalam tiga bagian, yaitu:
a.         Kisah para Nabi terdahulu.
b.      Kisah yang berhubungan dengan kejadian pada masa lalu dan orang-orang yang tidak di sebutkan kenabiannya.
c.       Kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah.

       Di lihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah Al-Qur’an dapat dibagi dalam tiga bagian:
a.       Kisah panjang, contohnya kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (12).
b.      Kisah yang lebih pendek dari bagian yang pertama, seperti kisah Maryam dalam surat Maryam (19).
c.       Kisah pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah Nabi Hud dan Nabi Luth dalam surat Al-A’raf (7).
     
      Di dalam Al-Qur’an banyak di kisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari Al-Qur’an dapat di ketahui beberapa kisah yang pernah di alami orang-orang jauh sebelum kita sejak Nabi Adam; seperti kisah Nabi dan kaumnya. Kisah orang-orang Yahudi, Nasrani, Sabi’in, Majuzi, dan lain sebagainya.
     Selain itu Al-Qur’an juga menceritakan beberapa peristiwa yang terjadi di jaman Rasulullah SAW. Seperti kisah beberapa peperangan (Badar, Uhud, Hunain) dan perdamaian (Hudaibiyah) dan lain sebagainya.
      Kisah-kisah dalam Al-Qur’an dapat di bagi beberpa macam, yaitu:
a.       Dari segi waktu
Di tinjau dari segi waktu kisah-kisah dalam Al-Qur’an ada tiga, yaitu:
1)      Kisah hal gaib yang terjadi pada masa lalu.
Contohnya:
v  Kisah tentang dialog malaikat dengan Tuhannya mengenai penciptaan khalifah bumi sebagaimana di jelaskan dalam (Q.S. Al-Baqarah: 30-34).
v  Kisah tentang penciptaan alam semesta sebagaimana tersapat dalam (Q.S. Al-Furqan: 59, Qaf: 38).
2)      Kisah hal gaib yang terjadi pada masa kini, contohnya:
v  Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada malam Lailatul Qadar seperti di ungkapkan dalam.
3)      Kisah hal ghaib yang akan terjadi pada masa yang akan datang, contohnya:
v  Kisah tentang akan datangnya hari kiamat seperti di jelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Qari’ah, Surat Az-Zalzalah dan lainnya.
v  Kisah tentang Abu Lahab kelak di akhirat seperti di ungkapkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Lahab.

b.      Dari Segi Materi
Di tinjau dari segi materi, kisah-kisah dalam Al-Qur’an ada tiga,  yaiut:
1)      Kisah-kisah para Nabi, seperti:
v  Kisah Nabi Muhammad
v  Kisah Nabi Adam
v  Kisah Nabi Nuh
v  Kisah Nabi Luth
v  Kisah Nabi Musa
v  Kisah Nabi Sulaiman
v  Kisah Nabi Ibrahim
v  Kisah Nabi Ismail
v  Kisah Nabi Yusuf
2)      Kisah tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masa lampau ang tidak dapat di pastikan kenabiannya.
Contohnya:
v  Kisah tentang Luqman
v  Kisah tentang Ashabul kahfi
v  Kisah tentang Maryam

3)      Kisah yang berpautan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Rasulullah SAW.
Contohnya:
v  Kisah tentang Ababil
v  Kisah tentang Hijrahnya Nabi SAW
v  Kisah tentang perang Badar dan Uhud yang di uraikan dalam Qur’an surat Ali Imran
v  Kisah tentang perang Hunain dan At-Tabuk dan lain sebagainya

3.      FAEDAH QASHASH DALAM AL-QUR’AN
a.       Mejelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menerangkan pokok-pokok syariat yang di sampaikan para Nabi.
b.      Memantapkan hati Rasulullah SAW. Dan umatnya dalam mengamalkan Agama Allah (Islam) dan menguatkan kepercayaan umat mukmin tentang akan datangnya pertolongan Allah dan kehancuran orang-orang yang sesat.
c.       Mengabadikan usaha-usaha para Nabi dan peringatan bahwa pada Nabi yang terdahulu adalah benar.
d.      Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad SAW. Dalam dakwahnya, degan tepat beliau menerangkan keadaan umat-umat terdahulu.
e.       Menyingkap kebohongan-kebohongan ahli kitab yag telah menyembunyikan isi kitab mereka yang murni dan mengoreksi pendapat mereka.
f.       Menanamkan akhlakul karimah dan budi yang mulia.
g.      Menarik perhatian para pendengar yang di berikan pelajaran kepada mereka.

4.      IBRAH DARI PENGGUNAAN NAMA DAN GELAR TOKOH DALAM QASHASH
      Tidak jarang pelaku kisah dalam Al-Qur’an disebutkan namanya langsung, umpamanya:[5]

1.      Nama Nabi, seperti:
a.       Adam (QS. Al-Baqarah (2) ayat 31, 33, 34, 35, 37) dan lain-lain.
b.      Nuh (QS. Hud (11) ayat 25, 32, 42, 45, 46, 48, 89) dan lain-lain.
2.   Nama Malaikat, seperti
a.       Jibril (QS. At-Tahrim (66) ayat 4 dan QS. Al-Baqarah (2) ayat 97, 98).
b.      Harut Marut (QS. Al-Baqarah (2) ayat 102).
3.    Nama Sahabat, seperti Zaid bin Harist (QS. Al-Ahzab (33) ayat 37).
4.    Nama tokoh terdahulu non-Nabi dan Rasul, seperti:
a.       Imran (QS. Ali-Imran (3) ayat 33, 35 dan lain-lain.
b.      Uzair (QS. Yunus (10) ayat 30).
5.    Nama Wanita, seperti:
a.       Maryam (QS. Ali-Imran (3) ayat 36, 37, 42, 43, 44, 45)

      Di samping nama pelaku, Al-Qur’an pun menuturkan gelar pelaku kisah, seperti Abu Lahab pada Q.S Al-Lahab (111) ayat 1, namanya sendiri adalah Abu Al-Uza
      Sebagaimana di jelaskan di atas, kisah-kisah dalam Al-Qur’an menyingkap beberapa peristiwa baik yang telah terjadi sebelum Al-Qur’an di turunkan, terjadi bersamaan dengan turunnya Al-Qur’an ataupun peristiwa-peristiwa yang akan terjadi .
      Dalam suatu kisah paling tidak ada empat hal yang terdapat di dalamnya. Empat hal tersebut, yaiut: jenis perisyiwa itu sendiri, pelaku peristiwa, tempat peristiwa dan waktu peristiwa. Keempat ha tersebut akan selalu berkaitan dan menyatu dalam setiap peristiwa.
      Di dalam Al-Qur’an banyak di kisahkan tentang berbagai jenis peristiwa yang pernah terjadi di bumi yang kita injak ini, seperti kisah tentang banjir bandang pada masa Nabi Nuh, kisah hujan batu dan gempa dahsyat pada masa Nabi Luth, kisah perang Badar, kisah tentang Isra’ Mi’raj, kisah tentang kehidupan di surga yang penuh nikmat, kisah kehidupan di neaka yang penuh derita, dan lain sebagainya.
       Dalam mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang sudah dan akan terjadi, Al-Qur’an menyebutkan beberapa pelaku atau tokoh dari suatu peristiwa. Beberapa tokoh atau peristiwa yang di sebutkan dalam Al-Qur’an seperti para Nabi dan utusan Allah yang di beri tugas dalam menyampaikan risalah, orang-orang saleh yang tidak dapat di pastikan kenabiannya, seperti: Fir’aun, Jalut, Qarun, Abu Lahab, dan lain sebagainya. Terkadang dalam beberapa kisah, pelaku peristiwa tidak disebutkan secara langsung dalam Al-Qur’an, tetapi hanya di ungkapkan secara maknawi, terutama kisah-kisah yang pelakunya secara kolektif, maka hanya disebutkan secara simbolis, seperti: kaum ‘Ad, kaum Luth, Bani Israil, kaum Quraisy dan lain sebagainya.
       Adapun mengenai tempat dan waktu kejadian peristiwa hanya di ungkapka secara global, di samoing itu tempat kejadian, setiap saat dapat di rubah secara alamiah, dan rata-rata mur masing-masing generasi manusia relatif singkat. Naun demikian di dalam Al-Qur’an juga terungkap beberapa tempat sejarah yang pernah terjadi suatu peristiwa sperti: Safa dan Marwa, Bukit Tursina, Masjidil Haram di Mekkah, Masjidil Aqsa di Palestina dan lain sebagainya. Pengungkapan Al-Qur’an yang berkaitan dengan waktu terjadinya peristiwa seperti di jelaskan pada  kisah tentang turunnya Al-Qur’an yang pertama kali ke bumi, kisah tentang turunnya wahyu terakhir dan lain sebagainya.
      Dengan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an yang mengisahkan. Beberpa kejadian (peristiwa) dengan menyebutkan para tokoh atau pelaku peristiwa akan sangat berfaedah bagi orang yang menggunakan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Karena dari kisah-kisah tersebut banyak Ibrah yang dapat diambil manfaat dan hikmahnya.
      Kisa dapat mencontoh kisah-kisah yang dapat di jadikan teladan, seperti kisah kehidupan para Nabi, orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan dari kisah-kisah orang yang durhaka kepada Allah dapat mengambil hikmah darinya.
      Dengan menyebut beberapa tokoh peristiwa sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an, menjadikan kita mudah mengingat kisah-kisah tersebut, selain itu akan memudahkan kita dalam memahami maksud dan tujuan Al-Qur’an. Namun kita perlu menyayangkan, terkadang di antara kita dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an kaitannya dengan kisah suatu peristiwa hanya menekan pada jenis peristiwa, mengabaikan waktu kejadian dan pelaku peristiwa, sehingga kurang dapat menyentuh maksud dan tujuan apa yang di kehendaki dalam Al-Qur’an.
      Mereka mneggunakan berbagai dalil untuk memperkuat pendapatnya. Dan kaidah ini menjadi pegangan jumhur ulama, terutama mereka dari golongan Usuliyah. Adapun di antara ayat Al-Qur’an yang di jadikan pegangan antara lain: ayat zihar dalam (Q.S. Al-Mujaddalah: 2) yang berbunyi:
Artinya:
             “orang-orang yang menzihar (menganggap) isteri sebagai ibunya, isterunya di antara kamu, padahal isteri mereka itu bukan ibunya. Ibu-ibu mereka tidak lain adalah mereka yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka benar-benar mengucapkan perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf bagi lagi maha penyayang”.
      Ayat di atas turun sehubungan dengan peristiwa atau kasus Salamah bin Shakhr, tetapi hukumnya tidak hanya pada Salamah bin Shakhr, berlaku untuk umum.
       Kedua, berpendapat bahwa Ibrah (pesan) itu hanya terbatas bagi tokoh pelakunya saja. Mereka mengambil kaidah sebagai berikut:

Artinya:
             hukum yang di kandung oleh sesuatu ayat berlaku terbatas untuk tokoh yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Bukan untuk umumnya lafad
Misalnya pada yat 188 surat Ali Imran yang berbunyi:

Artinya:
           janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka sukai supaya dipuji terhadap apa yang belum mereka kerjakan
      Ayat di atas tidak di tunjukkan untuk masyarakat umum, tetapi hanya terbatas bagi kaum ahli kitab. Demikianlah dipersepsikan dari Ibnu Abbas.

5.      PENGULANGAN QASHASH AL-QUR’AN DAN HIKMAHNYA
      Al-Qur’an banyak mengandung kisah yang pengungkapannya diulang-ulang di beberapa tempat. Berikut ini dikemukakan contoh pengulangan itu:
a.       Kisah Iblis tidak mau tunduk kepada Adam: surat Al-Baqarah (2) ayat 34, surat Al-A’raf (7) ayat 11:, surat Al-Kahfi (18) ayat 50, surat Thaha (20) ayat 116, surat Shad (38) ayat 74.
b.      Kisah kaum Nabi Luth yang melakukan perbuatan homoseks: surat Al-A’raf (7) ayat 80, 81: surat Hud (11) ayat 78: surat An-Naml (27) ayat 54-55: surat Al-Ankabut (29) ayat 29.
c.       Kisah istri Nabi Luth yang dibinasakan: surat Al-A’raf (7) ayat 83; surat Hud (11) ayat 81; surat Al-Hijr (15) ayat 60; surat Asy-Syura (26) ayat 171; surat An-Naml (27) : 57.
       Dalam hal ini, Manna Al-Qaththan menjelaskan hikmah pengulangan kisah-kisah Al-Qur’an sebagai berikut:
v  Menjelaskan ketinggian kualitas Al-Qur’an.
v  Memberikan perhatian yang besar terhadap kisah untuk menguatkan kesan dalam jiwa.
v  Menunjukkan kehebatan mukjizat Al-Qur’an.
v  Memperlihatkan adanya perbedaan tujuan diungkapkannya kisah tersebut.

                                                                        BAB III
                                                                      PENUTUP
1.      KESIMPULAN
      Kata Qashash juga berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata Qishash yang berarti tatabbu al-atsar (napak tilas/mengulang kembali masa lalu). Arti ini diperoleh dari uraian Al-Qur’an pada surat Al-Kahfi ayat 64.
      Secara Etimologi al-qashash juga berarti urusan (al-amr), berita (khabar), dan keadaan (hal). Dalam bahasa Indonesia, kata itu di terjemahkan dengan kisah yang berarti kejadian (riwayat, dan sebagainya)
      Manna’ Al-Qaththan, membagi qashash (kisah-kisah) Al-Qur’an dalam tiga bagian, yaitu:[7]
d.      Kisah para Nabi terdahulu.
e.       Kisah yang berhubungan dengan kejadian pada masa lalu dan orang-orang yang tidak di sebutkan kenabiannya.
f.       Kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah.

       Di lihat dari panjang pendeknya, kisah-kisah Al-Qur’an dapat dibagi dalam tiga bagian:
d.      Kisah panjang, contohnya kisah Nabi Yusuf dalam surat Yusuf (12).
e.       Kisah yang lebih pendek dari bagian yang pertama, seperti kisah Maryam dalam surat Maryam (19).
f.       Kisah pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat, misalnya kisah Nabi Hud dan Nabi Luth dalam surat Al-A’raf (7).
     
      Di dalam Al-Qur’an banyak di kisahkan beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Dari Al-Qur’an dapat di ketahui beberapa kisah yang pernah di alami orang-orang jauh sebelum kita sejak Nabi Adam; seperti kisah Nabi dan kaumnya. Kisah orang-orang Yahudi, Nasrani, Sabi’in, Majuzi, dan lain sebagainya.
     Di dalam Al-Qur’an banyak di kisahkan tentang berbagai jenis peristiwa yang pernah terjadi di bumi yang kita injak ini, seperti kisah tentang banjir bandang pada masa Nabi Nuh, kisah hujan batu dan gempa dahsyat pada masa Nabi Luth, kisah perang Badar, kisah tentang Isra’ Mi’raj, kisah tentang kehidupan di surga yang penuh nikmat, kisah kehidupan di neaka yang penuh derita, dan lain sebagainya.
       Al-Qur’an banyak mengandung kisah yang pengungkapannya diulang-ulang di beberapa tempat. Berikut ini dikemukakan contoh pengulangan itu:
a.       Kisah Iblis tidak mau tunduk kepada Adam: surat Al-Baqarah (2) ayat 34, surat Al-A’raf (7) ayat 11:, surat Al-Kahfi (18) ayat 50, surat Thaha (20) ayat 116, surat Shad (38) ayat 74.
b.      Kisah kaum Nabi Luth yang melakukan perbuatan homoseks: surat Al-A’raf (7) ayat 80, 81: surat Hud (11) ayat 78: surat An-Naml (27) ayat 54-55: surat Al-Ankabut (29) ayat 29.
c.       Kisah istri Nabi Luth yang dibinasakan: surat Al-A’raf (7) ayat 83; surat Hud (11) ayat 81; surat Al-Hijr (15) ayat 60; surat Asy-Syura (26) ayat 171; surat An-Naml (27) : 57.



                                                                 DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Ahmad Syadali MA, Drs. H. Ahmad Rofi’I, Ulumul Qur’an II, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1997.
Drs. Rosihan Anwar, M.Ag. Ilmu Tafsir, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000.



3 Mei 2012

Imam Ibnu Majah





BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG MASALAH
       Para ulama muhadditsin telah menetapkan suatu pengkajian yang komperenship tentang hadits. Semuanya dirumuskan dalam salah satu ilmu yang esensial dalam agama islam yakni ilmu hadits. Dalam usaha untuk menjadikan hadits sehingga bisa menjadi pegangan dan diyakini kebenarannya, maka sangatlah diperlukan pemeriksaan kerena untuk mendapatkan hadits ini tidaklah mudah perlu pengkajian tentang keberadaanya dan sumbernya. Pemahaman dan penyelidikan tersebut haruslah dilakukan dengan saksama karena persoalan tentang hadits ini secara umum berbeda dengan al-qur’an dan hadits mutawatir yang menfaedahkan secara ilmu darury. Maka dari itu, persoalan yang perlu dipahami dalam masalah ini ialah hadits ahad.
      Salah satu titik pokok dari kajian dalam ilmu hadits ini ialah hal yang berkenaan dengan bidang pengetahuan hadits-hadits yang kuat dari yang lemah dan tentang hal-ihwal para perawi yang diterima haditsnya dan ditolak menghasilkan suatu kesimpulan-kesimpulan ilmiah dan istilah-istilah yang mengindikasikan keshahihan atau kedha’ifan suatu hadits.


2.      RUMUSAN MASALAH

-          Imam Ibnu Majah
-          Perjalanan Imam Ibnu Majah mencari ilmu
-          Karya-Karya Imam Ibnu Majah
-          Guru-Guru Imam Ibnu Majah
-          Metedologi Imam Ibnu Majah
-          Wafatnya Imam Ibnu Majah

3.      TUJUAN PENULISAN

-          Untuk mengetahui riwayat hidup Imam Ibnu Majah
-          Untuk mengetahui perjalanan Imam Ibnu Majah mencari ilmu
-          Untuk mengetahui karya-karya Imam Ibnu Majah
-          Untuk mengetahui Para guru Imam Ibnu Majah
-          Untuk mengetahui Metedologi Imam Ibnu Majah
-          Untuk Mengetahui Wafatnya Imam Ibnu Majah


BAB II
PEMBAHASAN
1.      IMAM IBNU MAJAH
      Di suatu hari tepatnya pada tahun 209/284 Masehi Allah menurunkan anugerahnya kepada rakyat daerah Qazwin, karena di tempat itulah seorang imam yang jujur dan cerdas dilahirkan. Imam itu adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabî'î bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun iman tersebut dengan sebutan Ibnu Majah. Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan sebutan Majah Maula Rab'at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah dari Yazid. Dari sekian banyak ulama yang dikenal sebagai ahli hadits dan banyak meriwayatkan sabda-sabda Nabi SAW adalah Imam Ibnu Majah.

2.      PERJALANAN IMAM IBNU MAJAH MENCARI ILMU
      Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu hadits pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi. Bakat dan minatnya di bidang hadits makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negara guna mencari, mengumpulkan, dan menulis hadits. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antara lain Rayy (Teheran), Bashrah, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir. Dengan cara inilah, Ibnu Majah dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan ratusan hadits dari sumber-sumber yang dipercaya kesahihannya. Tak hanya itu, dalam berbagai kunjungannya itu, ia juga berguru pada banyak ulama setempat. Seperti, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para pengikut perawi dan ahli hadits, Imam Malik serta Al-Lays.


     Dari pengembaraannya ini, tak sedikit ulama yang akhirnya meriwayatkan hadits dari Ibnu Majah. Antara lain Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan sebagainya.

3.      KARYA-KARYA IMAM IBNU MAJAH
       Sepanjang hayatnya, Imam Ibnu Majah telah menulis puluhan buku, baik dalam bidang hadits, sejarah, fiqh, maupun tafsir. Di bidang tafsir, ia antara lain menulis Tafsir Alquranul Karim. Sementara itu, di bidang sejarah, Ibnu Majah menulis buku At-Tarikh, karya sejarah yang memuat biografi para perawi hadits sejak awal hingga ke masanya. Lantaran tak begitu monumental, kemungkinan besar kedua karya tersebut tak sampai di tangan generasi Islam berikutnya.
Yang menjadi monumental dan populer di kalangan Muslim dan literatur klasik dari karya Ibnu Majah adalah kitab di bidang hadits berjudul Kitab Sunan Ibnu Majah. Kitab ini merupakan karya terbesarnya. Di bidang ini pula, Ibnu Majah telah meriwayatkan sedikitnya 4.000 buah hadits.  Bahkan seperti diungkapkan Muhammad Fuad Abdul Baqi, penulis buku Mu’jam Al-Mufahras li Alfaz Alquran (Indeks Alquran), jumlah hadits dalam kitab Sunan Ibnu Majah berjumlah 4.241 buah hadits. Sebanyak 3.002 di antaranya termaktub dalam lima kitab kumpulan hadits yang lain. "Tak hanya hukum Islam, dalam kitab Sunan Ibnu Majah tersebut juga membahas masalah-masalah akidah dan muamalat. Dari sekian banyak hadits yang diriwayatkan, beberapa kalangan ulama mengkategorikan sebagiannya sebagai hadits lemah," kata Baqi. Sunan Ibnu Majah ini berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu' di dalam Sunan Ibnu Majah walaupun disanggah olehAs-Suyuthi. Atas ketekunan dan kontribusinya di bidang ilmu-ilmu Islam itu, khususnya disiplin ilmu hadits, banyak ulama yang kagum dan menilainya sebagai salah seorang ulama besar Islam. Seorang ulama bernama Abu Ya’la Al-Khalili Al-Qazwini misalnya, berkata, "Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang kejujurannya, dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya. Ia mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghapal hadits."
4.      GURU-GURU IMAM IBNU MAJAH
     Dalam pengembaraannya beliau bertemu banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental sekali, yaitu kitab "Sunan Ibnu Majah". Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah
    Guru sangat berperan sekali dalam tingkat keintelektualan anak didiknya, maka tak heran kalau guru yang cakap dalam metodologi pengajarannya sering kita temui peserta didiknya juga lebih terarah dan terdidik. Maka eksistensi guru ini suatu barang mahal dalam dunia pendidikan.
     Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus'ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.
    Seperti dikatakan pepatah "Ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah", bait syair ini sarat makna yang luas. Walaupun pohon itu indah dan tegar, namun kalau tidak bisa mendatangkan manfaat bagi yang lain maka tidak ada maknanya, seorang penuntut ilmu sejati biasanya sangat senang sekali untuk men'transfer' ilmunya kepada orang lain, karena dengan seringnya pengulangan maka semakin melekatlah dalam ingatan. Bak kata pepatah lagi "Ala bisa karena biasa". Oleh sebab itu, sang imam inipun giat dalam memberikan pelajaran bagi murid-murid yang patut untut diacungi jempol. Diantara murid yang belajar padanya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qatthân, Sulaiman bin Yazid, Abu Ja'far Muhammad bin Isa Al-Mathû'î dan Abu Bakar Hamid Al-Abhâry. Keempat murid ini adalah para perawi Sunan Ibnu Majah, tapi yang sampai pada kita sekarang adalah dari Abu Hasan bin Qatthân saja.

5.      METEDOLOGI IMAM IBNU MAJAH
      Kalau kita berbicara seputar metodologi yang dianut oleh imam Ibnu Majah dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab "Sunan Ibnu Majah". Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dho'îf  bahkan maudû' di dalamnya.
   Dalam menulis buku Sunan ini, beliau memulainya terlebih dahulu dengan mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya menurut kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah fiqih, hal ini seiring dengan metodologi para muhadditsîn yang lain.  Setelah menyusun hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak terlalu memfokuskan ta'lîqul Al-Hadits yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut, atau boleh dikatakan beliau hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat beliau adalah penting.
    Seperti kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah menulis hadits mereka memasukkan pendapat para ulama fâqih setelahnya, namun dalam hal ini Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih setelah penulisan hadits. Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu Majah ternyata juga tidak melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali hanya sebahagian kecil saja dan itu penting menurut beliau. Ternyata kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti perkiraan orang banyak selama ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga merupakan periwayat dari "Sunan Ibnu Majah".

6.      WAFATNYA IMAM IBNU MAJAH
       Setelah sekian lama mendedikasikan hidup dan pemikirannya kepada Islam, Sang Khaliq akhirnya memanggil Imam Ibnu Majah selama-lamanya. pada hari  selasa tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Ia dimakamkan di tanah kelahirannya, Qazwin, Irak. Umat Islam terus mengenangnya melalui berbagai karyanya, terutama Kitab Sunan Ibnu Majah yang termasuk dalam Kutubus Sittah.

BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
     Ibnu Majah mulai belajar sejak usia remaja. Namun baru mulai menekuni bidang ilmu hadits pada usia 15 tahun pada seorang guru ternama kala itu, yaitu Ali bin Muhammad At-Tanafasi. Bakat dan minatnya di bidang hadits makin besar. Hal inilah yang membuat Ibnu Majah berkelana ke beberapa daerah dan negara guna mencari, mengumpulkan, dan menulis hadits. Puluhan negeri telah ia kunjungi, antara lain Rayy (Teheran), Bashrah, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, dan Mesir. Dengan cara inilah, Ibnu Majah dapat menghimpun dan menulis puluhan bahkan ratusan hadits dari sumber-sumber yang dipercaya kesahihannya. Tak hanya itu, dalam berbagai kunjungannya itu, ia juga berguru pada banyak ulama setempat. Seperti, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam, dan para pengikut perawi dan ahli hadits, Imam Malik serta Al-Lays.
     Dari pengembaraannya ini, tak sedikit ulama yang akhirnya meriwayatkan hadits dari Ibnu Majah. Antara lain Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qattan, Ahmad bin Ibrahim, dan sebagainya.
    Dalam pengembaraannya beliau bertemu banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi kelangsungan gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani lahirnya buku yang sangat monumental sekali, yaitu kitab "Sunan Ibnu Majah". Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah
    Guru sangat berperan sekali dalam tingkat keintelektualan anak didiknya, maka tak heran kalau guru yang cakap dalam metodologi pengajarannya sering kita temui peserta didiknya juga lebih terarah dan terdidik.
Maka eksistensi guru ini suatu barang mahal dalam dunia pendidikan.
      Setelah sekian lama mendedikasikan hidup dan pemikirannya kepada Islam, Sang Khaliq akhirnya memanggil Imam Ibnu Majah selama-lamanya pada tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Ia dimakamkan di tanah kelahirannya, Qazwin, Irak. Umat Islam terus mengenangnya melalui berbagai karyanya, terutama Kitab Sunan Ibnu Majah yang termasuk dalam Kutubus Sittah.


DAFTAR PUSTAKA
Drs. Zainal Abidin. Mushtalahul Hadist, Bandung: PT. Setia Karya, 1984.
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok ilmu Dirayah Hadist, Jakarta, PT. Bulan Bintang, 1987.